Harap-Harap Cemas Para Penunggu dan Nikmat Sehat yang Sering Terlupa
Di sudut RSUD Cianjur, di lantai 3 tepat di depan pintu bertuliskan “ICU – Intensive Care Unit”, beberapa orang duduk diam. Wajah-wajah lelah tapi penuh harap. Ada yang menunduk memeluk lutut, ada yang berzikir pelan, dan ada yang sesekali menatap kosong ke arah pintu kaca yang tertutup rapat—menunggu kabar dari dalam, kabar tentang seseorang yang mereka cintai.
Di ruangan itu, tidak ada yang bisa dikunjungi. Tidak ada sentuhan, tidak ada pelukan. Hanya doa yang menembus batas dinding steril. Di luar, waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya.
Sebagian dari mereka baru menyadari betapa berharganya napas yang lancar, detak jantung yang stabil, dan tubuh yang bisa digerakkan tanpa bantuan alat medis. Sementara di dalam sana, orang yang mereka cintai sedang berjuang di antara hidup dan mati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan kelelahan, kesusahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya karenanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi penghibur bagi mereka yang menunggu. Bahwa setiap detik rasa sakit yang dirasakan orang yang mereka cintai, bukanlah sia-sia. Itu adalah penghapus dosa, pembersih jiwa, dan mungkin—jalan menuju ampunan Allah.
Namun bagi kita yang masih diberi nikmat sehat, renungan ini seharusnya menjadi cambuk. Karena tak ada yang bisa menjamin esok pagi kita masih bisa bangun dengan napas yang sama.
Nikmat sehat itu sering kita abaikan. Kita habiskan waktu dengan scroll media sosial tanpa arah, menunda amal, menunggu “nanti” untuk berbuat baik. Padahal, “nanti” bisa jadi tak pernah datang.
Mereka yang kini terbujur di ICU dulu juga mungkin seperti kita — sibuk dengan rutinitas, menunda kebaikan, merasa masih punya banyak waktu. Tapi kini, semua yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu takdir, dan semua yang bisa mereka bawa hanyalah amal.
Karena setelah nafas terakhir berhenti, tak akan ada kabar lagi dari mereka. Tak akan ada kesempatan untuk kembali ke bumi, memperbaiki yang tertunda. Yang tersisa hanyalah amal dan pahala—dua hal yang akan menjadi saksi dan pemberat timbangan di hari hisab.
Maka selama kita masih bisa berjalan, bernafas, tersenyum, dan menyapa orang lain—gunakan setiap detik itu untuk mengumpulkan pahala. Karena sehat bukan tanda kita dicintai Allah lebih dari yang sakit, tapi ujian, apakah kita mensyukurinya dengan amal, atau melalaikannya dengan dosa.
Semoga para penunggu di depan pintu ICU diberi kesabaran, para pasien di dalam diberi kesembuhan, dan kita semua diberi kesadaran untuk mensyukuri sehat sebelum sakit.
“Dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu karenanya: kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Bukhari)
Karena di depan pintu ICU, semua orang akhirnya mengerti—betapa mahalnya nikmat sehat dan betapa singkatnya hidup.